Hari AIDS Sedunia
Hidup Secara Bijaksana & Bertanggung Jawab
Di penghujung abad 20 ini mendadak seluruh dunia menjadi panik. HIV/AIDS merebak menghancurkan jutaan kehidupan; bahkan di antara mereka yang tidak berdosa. Pada tahun 2020, akan terdapat 22 juta anak yang menjadi yatim atau yatim piatu, karena orag tua yang terjangkit HIV. Ratusan ribu orang dari setiap pelosok dunia terjangkiti virus tersebut setiap harinya. Setiap enam detik seorang penghuni bumi ini tertular virus HIV. Penularan global tak terbendung lagi.
Bangsa-bangsa di seluruh dunia mencurahkan miliaran dolar untuk penelitian mencari vaksin HIV/AIDS. Tak kalah gencarnya usaha-usaha pencegahan penularan HIV/AIDS. Ribuan konperensi, lokakarya, seminar, pelatihan dan penyuluhan di tingkat internasional, regional, nasional dan lokal diselenggarakan oleh badan-badan pemerintah maunpun LSM dan di sana sini oleh gereja juga. Belum lagi tak terhitung banyaknya biaya yang harus dikeluarkan untuk merawat mereka yang telah terserang AIDS. Jasa layanan kesehatan sampai perlu merumuskan ulang kebijakan pengelolaan sumber dayanya, baik untuk pengobatan langsung, untuk asuransi kesehatan dsb. Dengan keprihatinan global sedemikan itu, Hari AIDS Sedunia ditetapkan, untuk mengingatkan umat manusia akan ancaman kematian yang makin menyebar.
Namun, HIV/AIDS sebenarnya bukanlah masalah kesehatan semata. Bahkan, kesehatan hanyalah merupakan mata rantai terakhir dari keseluruhan ancaman tersebut. Penyebaran infeksi HIV/AIDS sejagad, erat hubungannya dengan perilaku masyarakat dan bangsa yang mencerminkan nilai-nilai tertentu kehidupan masyarakat tersebut. Sekaligus, HIV/AIDS menguak dan menelanjangi nilai-nilai yang paling hakiki dari kehidupan masyarakat. Moralitas pulasan dan yang legalistis akan dibongkar oleh fakta kehadiran HIV/AIDS dalam masyarakat. Keber-agama- an yang sering dibanggakan akan diuji oleh badai HIV/AIDS.
Pencegahan yang paling efektif pun hanya terjadi dengan perubahan perilaku. Pesan pencegahan HIV/AIDS yang ampuh adalah ABC. A untuk abstinence, yaitu tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. B untuk “be faithful” untuk tidak bergonta-ganti pasangan. C untuk Condom. Mulanya C dianggap upaya pencegahan yang paling mujarab. Lembaga donor, perusahaan farmasi, pemerintahan sangat menekankan pesan C. Sampai suatu saat seorang peneliti dari universitas terkemuka dalam bidang kesehatan masyarakat melakukan penelitian di Negara-negara sub-saharan, yang prevalensi HIV/AIDSnya menurun. Apa yang menyebabkan penurunan? Ternyata bukan pesan C. Tetapi pesan A dan B. Prosentasi terbesar jawaban orang yang diwawancara mengatakan prevalensi HIV/AIDS menurun karena mereka mempraktekkan A dan B. Kini pesan A dan B diadopsi oleh WHO, lembaga donor, Negara dan LSM. Yang lebih mengejutkan adalah sumber pesan. Sewaktu ditanya siapa yang menyampaikan pesan tersebut? Mayoritas jawaban adalah Gereja. “Pendeta kami mengajarkan demikian,” kata mayoritas responden.
Memang A dan B adalah pesan Alkitabiah. Pesan surat Ibrani, “Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur.” Ibr 13:4. Bila ditaati akan menyelamatkan bangsa dari kehancuran. Tetapi, pembelajaran di sini adalah, apakah gereja mengajarkannya secara konsiten dan berani. Atau gereja merasa HIV/AIDS adalah bukan masalah dan urusannya, karenanya tidak pernah membicarakan dan mengkhotbahkannya. Pembelajaran kedua, kalau gereja dapat dengan efektif “mengubah” dunia dalam penanggulangan HIV/AIDS, akankah gereja juga mau mencegah “AIDS” sosial seperti korupsi, ketidakadilan, eksploitasi lingkungan yang mengakibatkan pemanasan global, dsb?
Hidup Secara Bijaksana & Bertanggung Jawab
Di penghujung abad 20 ini mendadak seluruh dunia menjadi panik. HIV/AIDS merebak menghancurkan jutaan kehidupan; bahkan di antara mereka yang tidak berdosa. Pada tahun 2020, akan terdapat 22 juta anak yang menjadi yatim atau yatim piatu, karena orag tua yang terjangkit HIV. Ratusan ribu orang dari setiap pelosok dunia terjangkiti virus tersebut setiap harinya. Setiap enam detik seorang penghuni bumi ini tertular virus HIV. Penularan global tak terbendung lagi.
Bangsa-bangsa di seluruh dunia mencurahkan miliaran dolar untuk penelitian mencari vaksin HIV/AIDS. Tak kalah gencarnya usaha-usaha pencegahan penularan HIV/AIDS. Ribuan konperensi, lokakarya, seminar, pelatihan dan penyuluhan di tingkat internasional, regional, nasional dan lokal diselenggarakan oleh badan-badan pemerintah maunpun LSM dan di sana sini oleh gereja juga. Belum lagi tak terhitung banyaknya biaya yang harus dikeluarkan untuk merawat mereka yang telah terserang AIDS. Jasa layanan kesehatan sampai perlu merumuskan ulang kebijakan pengelolaan sumber dayanya, baik untuk pengobatan langsung, untuk asuransi kesehatan dsb. Dengan keprihatinan global sedemikan itu, Hari AIDS Sedunia ditetapkan, untuk mengingatkan umat manusia akan ancaman kematian yang makin menyebar.
Namun, HIV/AIDS sebenarnya bukanlah masalah kesehatan semata. Bahkan, kesehatan hanyalah merupakan mata rantai terakhir dari keseluruhan ancaman tersebut. Penyebaran infeksi HIV/AIDS sejagad, erat hubungannya dengan perilaku masyarakat dan bangsa yang mencerminkan nilai-nilai tertentu kehidupan masyarakat tersebut. Sekaligus, HIV/AIDS menguak dan menelanjangi nilai-nilai yang paling hakiki dari kehidupan masyarakat. Moralitas pulasan dan yang legalistis akan dibongkar oleh fakta kehadiran HIV/AIDS dalam masyarakat. Keber-agama- an yang sering dibanggakan akan diuji oleh badai HIV/AIDS.
Pencegahan yang paling efektif pun hanya terjadi dengan perubahan perilaku. Pesan pencegahan HIV/AIDS yang ampuh adalah ABC. A untuk abstinence, yaitu tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. B untuk “be faithful” untuk tidak bergonta-ganti pasangan. C untuk Condom. Mulanya C dianggap upaya pencegahan yang paling mujarab. Lembaga donor, perusahaan farmasi, pemerintahan sangat menekankan pesan C. Sampai suatu saat seorang peneliti dari universitas terkemuka dalam bidang kesehatan masyarakat melakukan penelitian di Negara-negara sub-saharan, yang prevalensi HIV/AIDSnya menurun. Apa yang menyebabkan penurunan? Ternyata bukan pesan C. Tetapi pesan A dan B. Prosentasi terbesar jawaban orang yang diwawancara mengatakan prevalensi HIV/AIDS menurun karena mereka mempraktekkan A dan B. Kini pesan A dan B diadopsi oleh WHO, lembaga donor, Negara dan LSM. Yang lebih mengejutkan adalah sumber pesan. Sewaktu ditanya siapa yang menyampaikan pesan tersebut? Mayoritas jawaban adalah Gereja. “Pendeta kami mengajarkan demikian,” kata mayoritas responden.
Memang A dan B adalah pesan Alkitabiah. Pesan surat Ibrani, “Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur.” Ibr 13:4. Bila ditaati akan menyelamatkan bangsa dari kehancuran. Tetapi, pembelajaran di sini adalah, apakah gereja mengajarkannya secara konsiten dan berani. Atau gereja merasa HIV/AIDS adalah bukan masalah dan urusannya, karenanya tidak pernah membicarakan dan mengkhotbahkannya. Pembelajaran kedua, kalau gereja dapat dengan efektif “mengubah” dunia dalam penanggulangan HIV/AIDS, akankah gereja juga mau mencegah “AIDS” sosial seperti korupsi, ketidakadilan, eksploitasi lingkungan yang mengakibatkan pemanasan global, dsb?
0 comments:
Post a Comment